Hijau, Lestari, Menghidupi

Hijau, Lestari, Menghidupi

Kamis, 15 Juli 2010

Logo Baru Dompet Dhuafa



Jakarta – Di usia yang ke-17 tahun, Dompet Dhuafa (DD) merubah logo. Dari yang mulanya berbentuk 2 buah pancing, sekarang berubah menjadi segitiga. Perubahan logo ini diumumkan secara resmi di sela-sela acara Penganugerahan DD Award 2010 yang dilakukan di Auditorium Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, tepat di hari Ulang Tahun DD, Jum’at, 2 Juli 2010, tadi malam.

Perubahan logo ini adalah pertanda bahwa DD akan berkembang menjadi lebih dinamis namun tetap menjaga nilai-nilai yang sudah dipegang selama ini yakni berbagi dan memberdayakan kaum dhuafa. Dalam sambutannya, Ketua Dewan Pembina DD Parni Hadi yang juga merupakan salah satu dari empat pendiri DD 17 tahun lalu menyampaikan bahwa semangat selaku Pencinta Kemanusiaan akan tetap dipelihara selamanya. “Tidak terasa, DD sudah berusia 17 tahun dan kedepan seharusnya menjadi lebih dinamis, lebih cinta kepada kaum dhuafa” ungkapnya.

Selanjutnya logo baru ini akan dipasang di seluruh media publikasi DD dan seluruh desain cetak maupun digital. Menanggapi perubahan ini, Direktur Operasional DD Rini Suprihartanti mengemukakan bahwa sejak awal DD berdiri, visi dan misi termasuk logo bukanlah barang sakral yang tak tergantikan. “Kita bervisi dan bermisi mengikuti perkembangan zaman” katanya.

Selasa, 13 Juli 2010

SEDEKAH POHON DD BANTEN

Program sedekah pohon hadir untuk mendukung semangat go green yang sudah menggema di seluruh dunia. program ini merupakan wujud realisasi dari tema Dompet Dhuafa Goes Green. Program ini diarahkan kepada pengembangan kemandirian masyarakat miskin dengan cara menanam pohon produktif di wilayah sekitar mereka.

Lebih mendasar, program ini merupakan perwujudan semangat spritual dimana seorang yang menanam tanaman kemudian hasilnya bisa dimanfaatkan oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati, maka ia tak akan pernah ragu dan mendapat pahala di sisi Allah.

Rosululloh SAW bersabda, "Jika hari kiamat telah tegak, sedang di tangan seorang diantara kalian terdapat bibit pohon kurma; jika ia mampu untuk tidak berdiri sampai ia menanamnya, maka lakukanlah".

Telah diserahkan dengan Total 1200 bibit pohon mangga, kepada 4 pondok pesantren di Provinsi banten.

Penanaman Bibit Pohon di Yayasan Al Insan


Penyerahan bibit pohon di Pondok Pesantren Ardaniah


Penyerahan Bibit pohon di Pondok Pesantren fajrul Kariem


Penyerahan Bibit Pohon di Pondok Pesantren Daar El-Istiqomah

Minggu, 21 Maret 2010

Social Entrepreneur



Menanti Jutaan Wirausaha dari Social Entrepreneurship

Thursday, February 4th, 2010
oleh : Teguh Sri Pambudi

Melahirkan wirausaha memang bukan perkara mudah. Namun dengan spirit dan kolaborasi kewirausahaan sosial di kalangan individu, anggota komunitas dan korporasi, hal itu bisa diciptakan.

Social entrepreneur. Social enterprise. Social entrepreneurship.

Sekalipun beragam definisi lahir untuk memaknainya, tiga hal di atas sejatinya saling berkaitan. Yang pertama adalah sosoknya: wirausaha yang social driven, bergerak tidak dimotivasi profit, melainkan misi mengatasi problem sosial yang ada. Mereka adalah orang-orang yang berupaya menciptakan perubahan positif atas persoalan yang menimpa masyarakat: entah itu pendidikan, kesehatan, atau masalah kemasyarakatan lain, terutama ekonomi secara “entrepreneurially”, atau laiknya wirausaha: ulet dan berani ambil risiko. Orang-orang yang disebut J.G. Dees sebagai “spesies khusus dalam genus wirausaha” (The Meaning of Social Entrepreneurship, 1998).

Result yang mewadahi aktivitas mereka lazimnya adalah social enterprise, sebuah entitas yang social driven, berusaha mencetak profit untuk dikembalikan buat kepentingan bersama, karena memang tidak dikenal pemegang saham mayoritas di sini. Dan terakhir, jiwa yang mengikat itu semua adalah social entrepreneurship, spirit kewirausahaan sosial, spirit memberikan value untuk masyarakat dengan cara menerapkan prinsip-prinsip entrepreneurial.

Banyakkah figur atau sosok yang menampilkan tipe seperti itu di Tanah Air?

“Sulit menemukan angka statistik pertumbuhan social entrepreneur,” ujar Giuseppe Nicolosi, CEO Ernst & Young Indonesia yang sejak 2006 memberikan penghargaan social entrepreneur of the year. Yang pasti, lanjut pria Italia ini, jumlahnya terbatas sekali. Ini bisa terlihat dari finalis yang masuk setiap tahun ke E&Y yang bisa dihitung dengan jari.

“Kalau menurut pendiri Ashoka, Bill William Drayton, seharusnya di masyarakat ada 1 social enterpreneur di antara 10 juta penduduk. Kalau kita ada 230 juta penduduk, setidaknya setiap tahun kita menemukan 23 social entrepreneur,” ujar Mira Kusumarini, Ashoka Indonesia Representative. Faktanya? “Belum cukup. Kita perlu banyak!” katanya. Ashoka adalah lembaga yang aktif mendorong lahirnya social entrepreneur. Drayton bahkan adalah orang yang menyebarluaskan istilah ini di dekade 1980-an.

Memang tak mudah mengidentifikasi jumlah social entrepreneur di Tanah Air. Lagi pula, “(Di Indonesia) Belum ada organisasi yang menaunginya,” ujar Nicolosi. Sebaliknya, agak sedikit lebih mudah mengidentifikasi social enterprise dengan cara menilik koperasi. Ya, inilah contoh ideal entitas yang satu ini. Sebab, dalam koperasi, semua anggota menjadi pemegang saham, dengan proporsi yang sama, dan semua mendapat deviden bila ada keuntungan yang didistribusikan. Pengambilan keputusan pun dibuat bersama. Tak ada mayoritas-minoritas di sini.

Kendati social entrepreneur dan social enterprise terbilang penting buat Indonesia, sebenarnya isu yang lebih krusial dan mendesak adalah mencetak entrepreneur itu sendiri. Inilah isu besar yang mesti dipecahkan. Rasanya tepat bila sosiolog David McClelland menyebut bila ingin menjadi negara maju, maka 2% warganya menjadi entrepreneur. Satu wirausaha mampu mempekerjakan 8 orang, maka banyak orang terserap lapangan kerja.

Pentingnya entrepreneur diakui Bank Dunia: mereka dianggap mesin yang efisien untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan jangka panjang (The Economist, 29 Oktober 2009). Sejauh ini, mengutip Ciputra, jumlah entrepreneur di Indonesia hanya ada di kisaran 0,18% dari jumlah penduduk, artinya ada sekitar 400 ribu orang. Untuk urusan mencetak entrepreneur, Amerika Serikat adalah ”biangnya”. Negeri Abang Sam ini adalah apa yang disebut sebagai ”beacon of entrepreneurialism”. Antara 1996 dan 2004, di negeri ini tercipta rata-rata 550 ribu bisnis setiap bulan. Banyak dari bisnis itu kemudian bergerak membesar, tetapi banyak juga yang tumbang, layu sebelum berkembang. Mereka telah berjasa untuk hampir semua penciptaan lapangan kerja.

Maka untuk Indonesia, di sinilah isu genting itu sebenarnya berada: melahirkan wirausaha, mengejar gap dari 400 ribu menjadi 4,5 juta wirausaha. Dan di sini pula isu social entrepreneurship menjadi signifikan: melihat gap itu sebagai problem sosial dan berupaya menyelesaikannya menggunakan prinsip-prinsip entrepreneurial. Akan tetapi, siapa yang harus melihat hal itu sebagai problem sosial dan turut menyelesaikannya?

Individu-individu dapat menjadi social entrepreneur dan mencetak social enterprise dengan menghimpun wirausaha. Mereka akan mengembalikan return atau surplus dari aktivitas kewirausahaannya kepada stakeholders sehingga tercipta apa yang diidealkan dalam sebuah masyarakat: social justice, tiadanya penguasaan kapital di segelintir pihak dengan tanpa empati serta tanpa kesadaran akan hak-hak stakeholders. Bentuk yang mewadahi aktivitas social enterprise itu sendiri dapat beragam. Bisa yayasan, LSM atau, yang paling ideal, koperasi yang menghimpun banyak orang, menampung wirausaha, dan memutar banyak kapital. Yang jelas, ”Social enterprise punya dua atau tiga ukuran bottom line: finansial, sosial dan environmental,” kata Hugh Moffat, Direktur Program British Council Indonesia. Artinya, tidak mengejar keuntungan buat segelintir pihak, apalagi untuk dirinya.

Individu yang menjadi inisiator dalam urusan mencipta social enterprise yang kemudian melahirkan barisan entrepreneur baru merupakan salah satu pola ketika bicara tentang bagaimana melahirkan entrepreneur lewat social entrepreneurship. Pola yang disebut “from personal to society”.

Namun, karena isu besar di negeri ini adalah mencetak entrepreneur, individu pada konteks ini tak mesti seorang social entrepreneur yang murni. Siapa pun – termasuk pebisnis yang telah mapan pada bisnisnya – bisa mengisi pola ini. Yang penting, mereka bertindak laiknya venture philantrophy: menginjeksi kapital, baik financial capital maupun kapital lain yang dimilikinya (intelektual serta social capital); tidak meminta modal kembali; dan tidak mengejar profit untuk kepentingannya sendiri. “Dia (mereka) hanya dapat gaji atau upah, tidak dapat deviden,” kata Maria R. Nindita Radyati, Koordinator Program MM-CSR Universitas Trisakti. Dalam social enterprise yang mereka dirikan, mereka juga melakukan aspek berikut: mendesain, memperkuat dan mengimplementasikan strategi agar social enterprise tersebut bisa maksimal di tiga titik, yakni economical, social dan environmental impact (benefit). Tiga titik yang juga tiga ukuran bottom line seperti yang dinyatakan Moffat (finansial, sosial dan lingkungan).

Dampak ekonomi bisa terlihat dari hal berikut: besaran kapital finansial yang diputar, peningkatan pendapatan anggota masyarakat yang bergabung atau dilayani, dan pertambahan entrepreneur yang dihasilkan. Dampak sosial bisa berujud pada peningkatan level taraf kehidupan sebagai efek peningkatan kehidupan ekonomi. Sementara dampak lingkungan adalah perbaikan kondisi alam sebagai akibat pola aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Siapa saja, dengan sentuhan sosial di dalam hati dan pikirannya, bisa menggunakan prinsip-prinsip entrepreneurial untuk terlibat dalam pola ini.

Masyarakat (society), atau kumpulan individu – termasuk institusi pendidikan – juga bisa melihat gap kebutuhan entrepreneur sebagai tanggung jawabnya. Mereka dapat menghimpun kapitalnya bersama-sama, dan mengembangkan social enterprise bersama-sama. Inilah pola kedua: society to society. Koperasi adalah contoh perwujudan pola ini.

Dalam perkembangannya, bukan hanya individu serta komunitas yang dapat menjawab persoalan di atas. Korporasi pun bisa mengulurkan perannya untuk mencetak para entrepreneur lewat program tanggung jawab sosialnya.

Mungkin ada pertanyaan: bagaimana bisa korporasi yang bukan social enterprise, yang profit driven, masuk ranah ini?

Inilah yang disebut James Austin sebagai corporate social entrepreneurship (CSE). Guru Besar Business Administration Harvard Business School itu menyatakan bahwa CSE adalah bentuk paling maju dan powerful dari corporate social responsibility (CSR). Dalam CSE, perusahaan memainkan kompetensi miliknya untuk menciptakan economic and social value bagi stakeholders-nya. Caranya: korporasi bekerja sama dengan society, menjalin kemitraan dengan mereka, untuk menciptakan kesejahteraan sosial dari aktivitas entrepreneurship. Bukan semata memburu profit untuk pemegang sahamnya. Korporasi seakan-akan menjadi apa yang disebut sebagai “hybrid company” karena menggabungkan misi sosial dan misi kapitalistis.

Inilah pola ketiga: corporation to society. Korporasi bisa menginjeksi kapital pada social enterprise – baik didirikannya langsung ataupun tidak, seperti yayasan – yang akan memutarnya untuk kebaikan komunitas, terutama melahirkan barisan wirausaha. Korporasi juga bisa langsung bekerja sama dengan masyarakat tertentu, mencetak serta membina para entrepreneur dalam aktivitas ekonomi bersama. Di sini, korporasi bukan hanya menanam uang, tetapi juga investasi kapital lainnya seperti teknologi yang diberikan lewat bimbingan yang kontinyu, maupun jejaring pasar yang dibangun secara konsisten. Tak mengherankan, ini disebut Austin sebagai CSR yang maju karena tak semata mengucurkan uang untuk program ini-itu dan kadang dengan kemasan public relations yang lebih wah daripada esensinya. Korporasi mengintegrasikan komunitas dalam rantai nilai operasi-produksinya. Dengan menciptakan dan mendorong lahirnya entrepreneur, korporasi turut memberdayakan masyarakat lewat aktivitas ekonomi.

SWA mencoba melihat siapa dan bagaimana pola-pola itu berkembang. Di sisi individu, muncul sejumlah nama yang datang dari beragam kalangan. bisa seorang pengusaha seperti Esther Satyono, anak muda bernama Sabanda, bahkan seorang desainer seperti Oscar Lawalatta. Begitu pula dari sisi society maupun korporasi. Dari sisi komunitas, ibu-ibu rumah tangga menunjukkan diri mereka bisa menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mengatasi persoalan di sekitarnya seperti pada koperasi tanggung-renteng. Sementara dari sisi korporasi, penguasaan kapital dan kompetensi mendorong perusahaan turut mengembangkan wirausaha.

Dalam kapasitas masing-masing, mereka telah memberikan minimal salah satu dampak di tiga titik (finansial, sosial dan lingkungan). Lebih lengkap tentang mereka, termasuk kiprahnya, bisa dilihat di tabel dan halaman-halaman berikutnya. Yang pasti, apresiasi layak diberikan buat mereka, khususnya para indvidu yang tentunya memiliki keterbatasan kapital. Yang juga pasti, satu hal menarik dari aktivitas mereka adalah memunculkan apa yang kemudian disebut “long tail of entrepreneur” – istilah long tail meminjam dari tulisan Chris Anderson dalam bukunya yang inspiratif, The Long Tail. Dalam konteks ini maksudnya adalah barisan pengusaha yang panjang, seperti ekor yang tiada putus-putusnya: satu wirausaha melahirkan wirausaha baru, satu perusahaan melahirkan perusahaan baru, demikian seterusnya.

Bahkan, Wisnu Ali Martono dan Fatmah Bahalwan bisa melakukan hal itu. Lewat situsnya, Natural Cooking Club (NCC), pasutri pengusaha katering ini menciptakan sebuah social enterprise di dunia maya. Berbagi intellectual capital, terutama pengetahuan tentang masak-memasak, mereka bertemu lalu menyebar menjadi wirausaha di tempat masing-masing, seperti dengan membuka warung, resto atau toko kue. Setelah lima tahun berdiri, NCC yang kini beranggota 7.000 orang bermetamorfosis dari sarana bertukar resep masakan menjadi kekuatan ekonomi berbasis dapur. Dari satu tempat, long tail of entrepreneur di NCC telah panjang terentang.

Mencetak wirausaha bukan perkara mudah. Buku Boulevard of Broken Dreams: Why Public Efforts to Boost Entrepreneurship and Venture Capital Have Failed—and What to Do About it (2009), karya Josh Lerner, guru besar Harvard Business School, mencatat beberapa common failures dalam mendorong entrepreneurship. Salah satunya, banyak negara dikuasai ambisi tanpa melihat comparative advantages yang ada di negara tersebut. Tak melihat potensi-potensi lokal yang ada. Tak melihat bahwa kolaborasi antara people-community-corporation bisa menghasilkan barisan wirausaha tangguh. Orang sering lupa bahwa Sillicon Valey, tempat spirit entrepreneur berada, tak akan pernah sukses tanpa dua pusat intellectual capital, yakni Universitas Stanford dan Berkeley, serta pusat keuangan kelas dunia, San Francisco. Di sanalah kolaborasi seluruh kapital terjadi.

Bicara kekuatan social entrepreneur, social enterprise dan social entrepreneurship, Indonesia memang masih jauh. Negara yang tergolong maju adalah Inggris. British Council menaksir sedikitnya ada 62.000 social enterprises yang menyumbang £24 miliar bagi ekonomi Inggris. Di negeri itu, bahkan ada Social Enterprise Day yang dirayakan setiap 19 November.

Masyarakat Singapura juga membuktikan kuatnya komunitas ketika mereka bersatu menghimpun modal untuk mendirikan supermarket-supermarket di sekitar wilayahnya. Menurut Rektor Universitas Trisakti Thobby Mutis, dari 6 gerai, Carrefour kini hanya menyisakan satu gerai. Lima gerai tumbang menghadapi kekuatan ekonomi lokal. Jangan bandingkan dengan Indonesia. Di sini, Carrefour merajalela tanpa hambatan.

Lantas, bagaimana agar social entrepreneurship bisa kian berkembang sehingga jutaan entrepreneur dapat dilahirkan?

Sesungguhnya, potensi di Tanah Air untuk urusan mencetak sejuta entrepreneur sangatlah besar, termasuk dengan memanfaatkan social entrepreneurship. Kalangan korporasi, terutama. Kapital (finansial, intelektual) mereka sangat besar bila diarahkan untuk mencetak wirausaha. BUMN, misalnya, punya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang bila dilakukan serius akan dapat menciptakan social enterprise, juga long tail of entrepreneur. Serius di sini berarti melakukan pendampingan, juga investasi waktu dan keahlian, bukan sekadar menyumbang uang asal terpenuhi kewajiban.

Kuncinya di sisi korporasi adalah laiknya social entrepreneur tatkala melihat problem sosial: proaktif. Bank Mandiri, misalnya, kini aktif menggelar Wirausahawan Muda. Sementara Danamon, seperti diutarakan Manggi Habir, Chairman Board of Supervisors Yayasan Danamon, aktif menggelar Peduli Kompos Sampah Pasar. Lewat program ini, Danamon bersama 31 pemerintah daerah di seluruh Indonesia membuat unit pengolahan kompos di pasar menjadi pupuk organik berkualitas tinggi. Dampaknya bukan hanya lingkungan yang lebih baik, tetapi juga terserapnya tenaga kerja dan adanya pendapatan tambahan.

Bicara potensi, yang bisa menjadi mitra korporasi di negara yang tengah berkembang seperti Indonesia adalah kaum perempuan. Potensi kalangan wanita ini bukan perkara main-main. M. Yunus dengan Grameen Bank-nya berangkat dari pemberdayaan kaum perempuan. Studi mutakhir McKinsey telak-telak menyebut besarnya potensi ini. Kaum wanita bisa memberi perbedaan 1,6% terhadap pertumbuhan produk domestik bruto. Kalangan wanita yang bisa mencetak penghasilan akan menjadi katalis yang powerful untuk pembangunan karena mereka akan menginvestasikan uangnya untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan keluarga ketimbang kaum laki-laki. Karena itulah, sektor swasta dapat berkolaborasi mengembangkan kaum perempuan untuk lebih berdaya, termasuk dalam hal ekonomi (How Helping Women Helps Business, McKinsey Quaterly, Januari 2010). Jangan heran, koperasi tanggung-renteng yang dikembangkan Murzia Zaafril dan Yoos S. Aisyah Lutfi ataupun NCC telah membuktikannya.

Bagaimana dengan peran pemerintah?

“Pemerintah dapat membuat suatu koridor hukum yang bisa memfasilitasi, misalnya lewat peraturan pajak dan akses informasi untuk mengembangkan jaringan,” kata Nicolosi. “Lihat saja, misalnya, di Aceh di mana ada satu komunitas ibu-ibu pembuat quilting (bedcover tambalan dari semacam kain perca). Mereka mengekspor. Sebenarnya itu kan bisa lebih dikembangkan,” lanjutnya.

“Pemerintah bisa menjadi fasilitator, supporter dan organisatornya. Paling tidak informasi untuk bagaimana kami mengembangkan usaha itu mudah didapat sehingga kami bisa juga bergerak lebih cepat. Birokrasinya itu loh…, mana tahan!” ujar Oscar Lawalatta, desainer yang kini membina lima kelompok penenun kain tradisional menjadi wirausaha.

Peran lain yang bisa dimainkan adalah regulator. Pemerintah bisa mengatur social enterprise yang potensinya menciptakan entrepreneur sangatlah besar. Finlandia tergolong maju dalam urusan ini karena telah mengeluarkan undang-undang pada 2004 yang mengatur tentang perusahaan sosial. Kini sedikitnya ada 91 social enterprise di negeri itu yang terdaftar. Adapun Italia mengeluarkan UU sejenis tahun 2005. Indonesia memang masih jauh dari pengaturan semacam itu. UU Perusahaan Terbatas tidak mengaturnya. Di Indonesia, Nindita menuturkan, memang belum ada badan hukum khusus yang mengatur social enterprise. Sementara di Inggris ada badan hukum khusus yang mengatur hal ini, yakni Community Interest Company (CIC) dan mendapat perlakuan khusus dalam hal pajak.

Sekalipun peran pemerintah penting, tentu saja pihak individu, society dan korporasi tak bisa selalu bergantung. Kita mungkin bisa belajar dari Pandji Pragiwaksono, artis yang juga aktivis Indonesia Unite. Untuk mengatasi persoalan sosial, menurutnya, setiap manusia Indonesia harus mulai selalu berpikir tidak egosentris, kepada dirinya sendiri, tetapi berpikir sosial, berpikir apa yang bisa diberikan kepada masyarakat banyak. “Seharusnya setiap orang Indonesia menjadi bagian dari perubahan dengan membuat sebuah layer kegiatan sosial dan gerakan moral dalam hidup mereka,” ujar lelaki yang mengaku mengangkat topi buat pengusaha-pengusaha yang memberdayakan masyarakat karena sejalan dengan semangat menciptakan perubahan menjadi Indonesia yang lebih baik.

Ya, problem hari ini adalah melahirkan entrepreneur untuk mengisi gap yang ada. Dengan sosial entrepreneurship, hal itu bisa ikut dipecahkan. Siapa pun dapat terlibat di sini. Motonya: think social benefit, not just profit!***

Kamis, 18 Maret 2010

Program Dompet Dhuafa

Dompet dhuafa Banten, sebagai sebuah lembaga amil zakat yang berlokasi di kepandean kota Serang memiliki beberapa program awal yang dirancang berdasarkan kebutuhan dari kaum dhuafa yang berada di provinsi Banten, adapun program yang digulirkan oleh Dompet Dhuafa Banten sebagai langkah awal adalah :

1. Beasiswa Dhuafa Teladan.

Program ini adalah program pemberian beasiswa kepada 40 pelajar di Banten dengan tingkat pendidikan mulai dari SD, SMP hingga SMA. Program beasiswa diberikan untuk meringankan biaya pendidikan pelajar yang termasuk kategori dhuafa tetapi memiliki prestasi baik dalam bidang akademik maupun non akademik.


2. Layanan Kesehatan Cuma-Cuma.

Layanan kesehatan Cuma-Cuma merupakan sebuah program besar Dompet Dhuafa Republika yang menjadi rancangan starategis bagi Dompet Dhuafa Banten untuk dijadikan sebuah program unggulan, untuk saat ini, layanan kesehatan Cuma-Cuma ini dilakukan secara mobile dan bekerjasama dengan Telkomsel. Dalam waktu dekat, dengan donasi dari para donatur, diharapkan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma dapat memiliki gedung sendiri dan perlengkapan, peralatan serta sumber daya manusia yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat dhuafa dalam hal kesehatan.


3. Sedekah Pohon.

Program “Sedekah Pohon” merupakan wujud realisasi dari tema yang diusung oleh Dompet Dhuafa di tahun 2010, yaitu Dompet Dhuafa Goes Green. Program ini bertujuan untuk mengembangkan kemandirian kaum dhuafa melalui pengelolaan hasil pohon-pohon produktif yang ditanam di wilayah sekitar mereka.

Minggu, 14 Maret 2010

DD Raih Indonesia Social Entrepreneurship 2010



Dompet Dhuafa Republika kembali menerima penghargaan dalam bidang Social Entrepreneurship. Penghargaan ini diserahkan dalam acara bertajuk “Talk Show & Appreciation Day: Indonesia Social Entrepreneurship Achievement 2010” yang berlangsung Rabu (10/3) di Ceria Room, Shangri-La Hotel, Jakarta. Majalah bisnis terkemuka SWA selaku penyelenggara mendaulat Dompet Dhuafa sebagai Pioneer pada kategori “Dana Sosial untuk Masyarakat”. Penyerahan penghargaan diterima oleh Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Republika Ahmad Juwaini.

Dalam publikasinya, Majalah SWA memuji Dompet Dhuafa karena telah berhasil menumbuh kembangkan jiwa wirausaha sosial pada para penerima manfaatnya (mustahik). Bahkan DD memiliki salah satu jejaring khusus yang bergerak dalam pelatihan kemandirian usaha yakni Masyarakat Mandiri.
“Penghargaan ini adalah bukti atas kiprah para pemenang dalam berbakti kepada bangsa,” ucap Pemimpin Redaksi SWA Kemal Effendi Gani selaku Ketua Tim Penilai.[]

Kamis, 11 Maret 2010

Sambutan Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Banten



Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya sehingga kita masih diberikan nikmat sehat, sempat dan kesempatan untuk bersilaturahim. Tak lupa marilah senantiasa kita haturkan sholawat dan salam kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai yaumul akhir.

Dirintisnya Cabang Dompet Dhuafa di Provinsi Banten merupakan salah satu bukti nyata kepedulian umat terhadap pengentasan kemiskinan di provinsi yang sebenarnya memiliki potensi untuk maju dan berkembang. Banyak tokoh-tokoh Nasional yang menjadi kebanggaan provinsi ini, selain tentunya karekteristik masyarakat yang memiliki ciri tersendiri. Tataran ini tentu saja bukan hanya menjadi kebanggaan premodial warga Banten, namun dapat lebih diimplementasikan dalam pemberdayaan masyarakat yang dapat mencukupi kebutuhannya dengan hal-hal yang bermartabat di atas kemampuan sendiri dengan pondasi rasa keadilan yang mumpuni.

Hadirnya Dompet Dhuafa insya Allah dapat menjawab semua keraguan masyarakat terhadap pemberdayaan umat melalui distribusi zakat, infak, shadaqah dan wakaf yang telah disalurkan melalui Dompet Dhuafa Cabang Banten ini. Betapa kekuatan ZISWAF yang kita keluarkan dapat memberikan darah segar bagi kaum mustahik di provinsi ini, sehingga menjadikan mereka sebagai individu dan kelompok yang dapat sinergi dengan kemapanan yang selama ini kita lihat secara kasat mata. Betapa bahagia bila kaum mustahik merasakan kebersamaan dalam persaudaraan seiman dan seagama serta dapat menjadi suri tauladan bagi anak, cucu dan keturunannya kelak. Subhanallah!

Kami menyadari kemiskinan dan keterpurukan tidak serta merta hilang seperti membalikkan telapak tangan, namun kami percaya bila segala sesuatu sudah diniatkan, insya Allah sedikit demi sedikit dapat kita minimalisir. Banyak bukti nyata yang telah dilakukan Dompet Dhuafa Republika, dan kini saatnya warga dan masyarakat Banten untuk bahu membahu bagi mereka yang berkecukupan untuk mendonasikan ZISWAFnya ke Dompet Dhuafa Cabang Banten untuk nantinya kami distribusikan kepada para mustahik dalam bentuk program pemberdayaan, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, lingkungan dan lainnya.


Semoga dengan hadirnya Dompet Dhuafa di Banten dapat memberikan kontribusi berarti bagi warga dan masyarakat Banten dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan membantu saudara-saudar kita yang membutuhkan agar bangkit dari ketidakberdayaan menjadi manusia seutuhnya yang memiliki harkat dan martabat dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari. Amiiin yaa Rabb.

Billahi taufik wal hidayah,
Wassalamualaikum Warrahmatullohi Wabarakatuh.


Oleh : Heri Wahyudi Rachman, SE.

Rabu, 10 Maret 2010

Dari Konferensi Ketiga Organisasi Kemanusiaan Negara-negara Anggota OKI Indonesia Mendesak agar Segera Dibentuk Badan Koordinasi

Doha (9/3)--Konferensi Ketiga Organisasi Kemanusiaan Negara-negara Anggota OKI, memberikan catatan khusus pada lemahnya koordinasi antara organisasi kemanusiaan negara-negara anggota OKI dalam memberikan bantuan ke negara-negara yang membutuhkan bantuan. Hal ini semakin memperburuk kondisi kemanusiaan di Palestina, Irak, Afghanistan, Somalia, Nigeria, Sudan, Pakistan dan Yaman.

Delegasi dari negara-negara yang terlibat aksi kemanusian menyoroti situasi di negara tempat mereka bekerja. Mereka mencatat bahwa kurangnya keamanan telah menyebabkan banyak tantangan bagi mereka dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan.

Para delegasi dari Afghanistan menunjukkan bahwa konflik tiga dasawarsa yang telah menewaskan lebih dari satu juta orang, jutaan yatim piatu dan cacat, telah menyebabkan kemiskinan, kerawanan pangan, kekeringan, serta kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kejahatan perang yang tidak terkendali. Mereka mengatakan bahwa banyak lembaga kemanusiaan telah bekerja di Afghanistan, sebagaian besar merupakan organisasi non-pemerintah (LSM) menghadapi banyak tantangan.

Para pekerja organisasi kemanusiaan semakin menjadi target operasi Taliban dan kelompok perlawanan lain, karena mereka dianggap mendukung agenda politik asing dan bertentangan dengan para milisi bersenjata.

Delegasi Palestina menjelaskan bahwa tingkat koordinasi antara berbagai organisasi kemanusiaan yang beroperasi di Gaza sangat rendah.

"Kerjasama ini terbatas pada koordinasi teknis melalui beberapa pertemuan yang tidak teratur, dan umumnya pada proyek-proyek musiman seperti di bulan Ramadan," kata seorang delegasi Gaza. Ia menambahkan: "jarang sekali ada pertemuan koordinasi yang memetakan informasi tentang kebutuhan para korban kekerasan kemanusian".

Delegasi Palestina juga menjelaskan bahwa blokade Israel di Gaza telah mempengaruhi kerja dari banyak organisasi kemanusiaan.

Delegasi Irak mengatakan bahwa meningkatnya jumlah anak yatim, janda dan tawanan, serta pengangguran, kemiskinan dan pengungsi, adalah contoh-contoh situasi yang memburuk di sana. "Situasi kemanusiaan di Irak sangat kompleks karena meliputi kebutuhan mendesak dan orang-orang dari jangka panjang," kata seorang delegasi.

Delegasi lain juga menjelaskan bahwa perbedaan pandangan dari organisasi kemanusiaan tentang prioritas bantuan di Irak, menjadi salah satu tantangan untuk situasi di sana.

Delegasi Somalia menunjukkan “ketiadaan absolute” kerjasama antara organisasi kemanusiaan dari negara-negara anggota di OKI, sementara konflik bersenjata juga telah mempengaruhi aktivitas kemanusiaan mereka.

Kondisi ini membuat Indonesia mendesak OKI untuk segera membentuk badan koordinasi aktivitas kemanusiaan. “Dengan pengalaman kami berkoordinasi dengan NGO International di beberapa situasi kebencanaan di Indonesia, Timor Timur, Haiti, Thailand Selatan dan Palestina, kami mampu menawarkan platform badan koordinasi. Untuk itu kami mengundang para komite pengarah untuk membahasnya di Jakarta”, Ismail A. Said, Presiden Direktur Dompet Dhuafa, menyatakan pendapatnya.

Tawaran Indonesia yang disampaikan Dompet Dhuafa ini disambut hangat oleh Asisten Seretaris Jendral OKI untuk Urusan Kemanusiaan, Ata al-Mannan Bakheet. Para delegasi juga sepakat bahwa titik awal untuk upaya koordinasi adalah pembentukan badan koordinasi yang memiliki struktur fungsional, manajemen pengetahuan dari sumberdaya yang tersedia, kebutuhan penduduk atas bantuan dan gambaran kegiatan yang akan dilaksanakan.

Asisten Menteri Luar Negeri Qatar, Mohamed bin Abdullah al-Rumaihi pada akhir konferensi mengatakan bahwa Qatar akan mendukung semua upaya bantuan kemanusiaan untuk mencapai orang-orang di negara-negara Islam dan daerah lain di dunia.

Sementara Sekretaris Jenderal OKI, Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu mengatakan bahwa LSM, pemerintah dan sektor swasta harus bergandengan tangan dalam pekerjaan kemanusiaan di seluruh negara Islam. /php

Sabtu, 06 Maret 2010

Ironi Penanganan Bencana dan Kearifan Lokal

Bencana sekali lagi mendera negeri kita. Setelah rentetan gempa pertengahan tahun lalu, awal tahun ini kita dihantam bertubi-tubi oleh banjir bandang dan tanah longsor. Sebut saja banjir Jakarta, banjir Baleendah, Bandung, dan terakhir bencana tanah longsor di Tenjolaya, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terjadi pekan lalu.

Malang memang tak dapat ditolak, mujur memang tak dapat diraih. Kita memang tak pernah bisa menghentikan datangnya bencana, tapi kita bisa mencegah dan meminimalisir dampaknya. Namun, ironisnya, sebagai “universitas bencana”, negara besar ini tak kunjung bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang sudah-sudah. Pemerintah belum maksimal menyiapkan program yang ampuh agar masyarakat tahu dan sadar konsekuensi hidup di negeri ini. Hasilnya, masyarakat jadi buta terhadap bahaya ancaman bencana.

Bencana longsor Ciwidey adalah contoh mutakhirnya. Sangat mengherankan, di tengah zaman berteknologi informasi canggih seperti sekarang, pemerintah Kabupaten Bandung baru mengetahui adanya longsor Ciwidey tujuh jam setelah puluhan warga terimpit dan tewas tertimpun tanah.

Belajar dari Negara Lain

Kita tampaknya memang harus banyak belajar dari negara lain soal mencegah jatuhnya banyak korban dalam bencana. Apa yang dilakukan Jepang dalam mengevakuasi warganya dari ancaman tsunami beberapa waktu lalu membuat kita seharusnya iri. Sebagaimana diberitakan, Jepang berhasil mengevakuasi lebih dari 50 ribu penduduknya yang menetap di pesisir menyusul tsunami di pantai Pasifik yang dipicu oleh gempa 8,8 SR di Chile.

Sebagaimana dilansir ABC News Minggu (28/2), Badan Meteorologi Jepang memperkirakan tsunami akan terjadi di wilayah utara di Pulau Hokkaido melalui wilayah selatan rantai Pulau Okinawa. Gelombang pertama akan menghantam Jepang di pantai Pulau Hokkaido yang menghadapi Pasifik pada pukul 13.00 waktu setempat. Negara-negara di pinggir Pasifik mengeluarkan peringatan tsunami setelah gempa dahsyat menimpa Chile pada pukul 03.34 waktu setempat atau pukul 15.34 WIB, Sabtu (27/2). Warga Hawaii diperintahkan untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Pantai-pantai di pesisir timur Australia juga ditutup setelah gelombang kecil menerpa. Pemerintah Filipina juga mengimbau warganya di 19 propinsi yang menghadap ke Laut Pasifik untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena tsunami diperkirakan akan datang beberapa jam ke depan.

Kearifan Lokal dari Tradisi Smong di Simeulue

Selain cepat tanggap dalam menangani bencana, pemerintah juga perlu mendorong masyarakat mengorganisasi langkah pencegahan dan antisipasi. Kearifan lokal dalam mengenali tanda-tanda alam juga perlu kembali ditumbuhkan. Misalnya tradisi smong di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam. Warga Simeulue, selamat dari tsunami 2004 karena langsung lari ke atas bukit ketika melihat tanda-tanda air laut surut.

Dengarlah suatu kisah/Pada zaman dahulu kala/Tenggelam suatu desa/Begitulah dituturkan/Gempa yang mengawali/Disusul Air yang surut/Tenggelam Seluruh negeri secara tiba-tiba/Jika gempanya kuat/Disusul air yang surut/Segera carilah tempat/Dataran tinggi agar selamat/Itulah smong namanya/Sejarah nenek moyang kita/Ingatlah ini semua/Pesan dan nasihatnya/Smong (tsunami) air mandimu/Gempa ayunanmu/Petir gendang-gendangmu/petir gendang-gendangmu/Halilintar lampu-lampumu.

Cerita di atas biasa dituturkan secara lisan oleh para orangtua di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kepada anak-anak dan cucunya, tentang kewaspadaan akan datangnya tsunami atau dikenal sebagai smong oleh masyarakat Simeulue. Para orangtua bercerita mengalir begitu saja kepada anak-anak dan cucu mereka, begitu juga anak-anak mereka yang kemudian menjadi orangtua menceritakan kembali hal yang sama. Begitu selanjutnya. Kendati generasi berikutnya tidak pernah tahu dan mengalami sendiri tentang smong, namun mereka tetap melanjutkan “tradisi” bercerita lisan tentang smong ini.

Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tepatnya cerita lisan tentang smong ini dimulai. Namun ditengarai kuat cerita ini digulirkan oleh para korban hidup kejadian tsunami di Simeulue pada tahun 1907. Tsunami pertama terjadi di Simeulue pada tahun 1833. Namun sepertinya tidak pernah ada cerita kearifan lokal di sana hingga terjadilah tsunami besar kembali di tahun 1907. Banyak korban jiwa yang membuat para orang tua masa itu terhenyak dan menyadari bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya smong di masa yang akan datang.

Dari hasil pembelajaran kejadian tahun 1907 itulah, para orangtua mulai memberikan informasi dalam sebuah cerita lisan peristiwa itu secara turun-menurun dan terus menerus di tiap generasi. Unesco pun menjadikan kearifan lokal cerita smong ini sebagai budaya yang harus disebar ke seluruh dunia. Cerita smong orang Simeulue kini tidak hanya beredar di Simeulue, tapi juga seluruh dunia.

Sumber : http://www.dompetdhuafa.org

Jumat, 05 Maret 2010

DOMPET DHUAFA BANTEN SEGERA BEROPERASI


Dompet Dhuafa Banten akan segera beroperasi pada tanggal, 8 Maret 2010. Team yang digawangi oleh Heri Wahyudi Rachman sebagai kepala cabang, Reza Andrestha sebagai Manager Fundraising, Yenny Senja Febriani sebagai Manager Administrasi & Umum dan Yoga Dwi Priyatno sebagai Manager Program akan mulai melakukan soft launching pada tanggal yang sama.
Dompet Dhuafa Banten merupakan Jejaring dari Dompet Dhuafa Republika yang bekerjasama dengan yayasan Uswatun Hasanah.
Berlokasi di pusat kota Serang, menjadikan dompet dhuafa banten memiliki nilai lebih, dan tentunya Dompet Dhuafa Banten akan senantiasa menjadi pelayan ummat yang Insya Allah komitmen dan profesional.