Bencana sekali lagi mendera negeri kita. Setelah rentetan gempa pertengahan tahun lalu, awal tahun ini kita dihantam bertubi-tubi oleh banjir bandang dan tanah longsor. Sebut saja banjir Jakarta, banjir Baleendah, Bandung, dan terakhir bencana tanah longsor di Tenjolaya, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang terjadi pekan lalu.
Malang memang tak dapat ditolak, mujur memang tak dapat diraih. Kita memang tak pernah bisa menghentikan datangnya bencana, tapi kita bisa mencegah dan meminimalisir dampaknya. Namun, ironisnya, sebagai “universitas bencana”, negara besar ini tak kunjung bisa mengambil pelajaran dari kejadian yang sudah-sudah. Pemerintah belum maksimal menyiapkan program yang ampuh agar masyarakat tahu dan sadar konsekuensi hidup di negeri ini. Hasilnya, masyarakat jadi buta terhadap bahaya ancaman bencana.
Bencana longsor Ciwidey adalah contoh mutakhirnya. Sangat mengherankan, di tengah zaman berteknologi informasi canggih seperti sekarang, pemerintah Kabupaten Bandung baru mengetahui adanya longsor Ciwidey tujuh jam setelah puluhan warga terimpit dan tewas tertimpun tanah.
Belajar dari Negara Lain
Kita tampaknya memang harus banyak belajar dari negara lain soal mencegah jatuhnya banyak korban dalam bencana. Apa yang dilakukan Jepang dalam mengevakuasi warganya dari ancaman tsunami beberapa waktu lalu membuat kita seharusnya iri. Sebagaimana diberitakan, Jepang berhasil mengevakuasi lebih dari 50 ribu penduduknya yang menetap di pesisir menyusul tsunami di pantai Pasifik yang dipicu oleh gempa 8,8 SR di Chile.
Sebagaimana dilansir ABC News Minggu (28/2), Badan Meteorologi Jepang memperkirakan tsunami akan terjadi di wilayah utara di Pulau Hokkaido melalui wilayah selatan rantai Pulau Okinawa. Gelombang pertama akan menghantam Jepang di pantai Pulau Hokkaido yang menghadapi Pasifik pada pukul 13.00 waktu setempat. Negara-negara di pinggir Pasifik mengeluarkan peringatan tsunami setelah gempa dahsyat menimpa Chile pada pukul 03.34 waktu setempat atau pukul 15.34 WIB, Sabtu (27/2). Warga Hawaii diperintahkan untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Pantai-pantai di pesisir timur Australia juga ditutup setelah gelombang kecil menerpa. Pemerintah Filipina juga mengimbau warganya di 19 propinsi yang menghadap ke Laut Pasifik untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena tsunami diperkirakan akan datang beberapa jam ke depan.
Kearifan Lokal dari Tradisi Smong di Simeulue
Selain cepat tanggap dalam menangani bencana, pemerintah juga perlu mendorong masyarakat mengorganisasi langkah pencegahan dan antisipasi. Kearifan lokal dalam mengenali tanda-tanda alam juga perlu kembali ditumbuhkan. Misalnya tradisi smong di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam. Warga Simeulue, selamat dari tsunami 2004 karena langsung lari ke atas bukit ketika melihat tanda-tanda air laut surut.
Dengarlah suatu kisah/Pada zaman dahulu kala/Tenggelam suatu desa/Begitulah dituturkan/Gempa yang mengawali/Disusul Air yang surut/Tenggelam Seluruh negeri secara tiba-tiba/Jika gempanya kuat/Disusul air yang surut/Segera carilah tempat/Dataran tinggi agar selamat/Itulah smong namanya/Sejarah nenek moyang kita/Ingatlah ini semua/Pesan dan nasihatnya/Smong (tsunami) air mandimu/Gempa ayunanmu/Petir gendang-gendangmu/petir gendang-gendangmu/Halilintar lampu-lampumu.
Cerita di atas biasa dituturkan secara lisan oleh para orangtua di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), kepada anak-anak dan cucunya, tentang kewaspadaan akan datangnya tsunami atau dikenal sebagai smong oleh masyarakat Simeulue. Para orangtua bercerita mengalir begitu saja kepada anak-anak dan cucu mereka, begitu juga anak-anak mereka yang kemudian menjadi orangtua menceritakan kembali hal yang sama. Begitu selanjutnya. Kendati generasi berikutnya tidak pernah tahu dan mengalami sendiri tentang smong, namun mereka tetap melanjutkan “tradisi” bercerita lisan tentang smong ini.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan tepatnya cerita lisan tentang smong ini dimulai. Namun ditengarai kuat cerita ini digulirkan oleh para korban hidup kejadian tsunami di Simeulue pada tahun 1907. Tsunami pertama terjadi di Simeulue pada tahun 1833. Namun sepertinya tidak pernah ada cerita kearifan lokal di sana hingga terjadilah tsunami besar kembali di tahun 1907. Banyak korban jiwa yang membuat para orang tua masa itu terhenyak dan menyadari bahwa selalu ada kemungkinan terjadinya smong di masa yang akan datang.
Dari hasil pembelajaran kejadian tahun 1907 itulah, para orangtua mulai memberikan informasi dalam sebuah cerita lisan peristiwa itu secara turun-menurun dan terus menerus di tiap generasi. Unesco pun menjadikan kearifan lokal cerita smong ini sebagai budaya yang harus disebar ke seluruh dunia. Cerita smong orang Simeulue kini tidak hanya beredar di Simeulue, tapi juga seluruh dunia.
Sumber : http://www.dompetdhuafa.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar