Hijau, Lestari, Menghidupi
Minggu, 21 Maret 2010
Social Entrepreneur
Menanti Jutaan Wirausaha dari Social Entrepreneurship
Thursday, February 4th, 2010
oleh : Teguh Sri Pambudi
Melahirkan wirausaha memang bukan perkara mudah. Namun dengan spirit dan kolaborasi kewirausahaan sosial di kalangan individu, anggota komunitas dan korporasi, hal itu bisa diciptakan.
Social entrepreneur. Social enterprise. Social entrepreneurship.
Sekalipun beragam definisi lahir untuk memaknainya, tiga hal di atas sejatinya saling berkaitan. Yang pertama adalah sosoknya: wirausaha yang social driven, bergerak tidak dimotivasi profit, melainkan misi mengatasi problem sosial yang ada. Mereka adalah orang-orang yang berupaya menciptakan perubahan positif atas persoalan yang menimpa masyarakat: entah itu pendidikan, kesehatan, atau masalah kemasyarakatan lain, terutama ekonomi secara “entrepreneurially”, atau laiknya wirausaha: ulet dan berani ambil risiko. Orang-orang yang disebut J.G. Dees sebagai “spesies khusus dalam genus wirausaha” (The Meaning of Social Entrepreneurship, 1998).
Result yang mewadahi aktivitas mereka lazimnya adalah social enterprise, sebuah entitas yang social driven, berusaha mencetak profit untuk dikembalikan buat kepentingan bersama, karena memang tidak dikenal pemegang saham mayoritas di sini. Dan terakhir, jiwa yang mengikat itu semua adalah social entrepreneurship, spirit kewirausahaan sosial, spirit memberikan value untuk masyarakat dengan cara menerapkan prinsip-prinsip entrepreneurial.
Banyakkah figur atau sosok yang menampilkan tipe seperti itu di Tanah Air?
“Sulit menemukan angka statistik pertumbuhan social entrepreneur,” ujar Giuseppe Nicolosi, CEO Ernst & Young Indonesia yang sejak 2006 memberikan penghargaan social entrepreneur of the year. Yang pasti, lanjut pria Italia ini, jumlahnya terbatas sekali. Ini bisa terlihat dari finalis yang masuk setiap tahun ke E&Y yang bisa dihitung dengan jari.
“Kalau menurut pendiri Ashoka, Bill William Drayton, seharusnya di masyarakat ada 1 social enterpreneur di antara 10 juta penduduk. Kalau kita ada 230 juta penduduk, setidaknya setiap tahun kita menemukan 23 social entrepreneur,” ujar Mira Kusumarini, Ashoka Indonesia Representative. Faktanya? “Belum cukup. Kita perlu banyak!” katanya. Ashoka adalah lembaga yang aktif mendorong lahirnya social entrepreneur. Drayton bahkan adalah orang yang menyebarluaskan istilah ini di dekade 1980-an.
Memang tak mudah mengidentifikasi jumlah social entrepreneur di Tanah Air. Lagi pula, “(Di Indonesia) Belum ada organisasi yang menaunginya,” ujar Nicolosi. Sebaliknya, agak sedikit lebih mudah mengidentifikasi social enterprise dengan cara menilik koperasi. Ya, inilah contoh ideal entitas yang satu ini. Sebab, dalam koperasi, semua anggota menjadi pemegang saham, dengan proporsi yang sama, dan semua mendapat deviden bila ada keuntungan yang didistribusikan. Pengambilan keputusan pun dibuat bersama. Tak ada mayoritas-minoritas di sini.
Kendati social entrepreneur dan social enterprise terbilang penting buat Indonesia, sebenarnya isu yang lebih krusial dan mendesak adalah mencetak entrepreneur itu sendiri. Inilah isu besar yang mesti dipecahkan. Rasanya tepat bila sosiolog David McClelland menyebut bila ingin menjadi negara maju, maka 2% warganya menjadi entrepreneur. Satu wirausaha mampu mempekerjakan 8 orang, maka banyak orang terserap lapangan kerja.
Pentingnya entrepreneur diakui Bank Dunia: mereka dianggap mesin yang efisien untuk penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan jangka panjang (The Economist, 29 Oktober 2009). Sejauh ini, mengutip Ciputra, jumlah entrepreneur di Indonesia hanya ada di kisaran 0,18% dari jumlah penduduk, artinya ada sekitar 400 ribu orang. Untuk urusan mencetak entrepreneur, Amerika Serikat adalah ”biangnya”. Negeri Abang Sam ini adalah apa yang disebut sebagai ”beacon of entrepreneurialism”. Antara 1996 dan 2004, di negeri ini tercipta rata-rata 550 ribu bisnis setiap bulan. Banyak dari bisnis itu kemudian bergerak membesar, tetapi banyak juga yang tumbang, layu sebelum berkembang. Mereka telah berjasa untuk hampir semua penciptaan lapangan kerja.
Maka untuk Indonesia, di sinilah isu genting itu sebenarnya berada: melahirkan wirausaha, mengejar gap dari 400 ribu menjadi 4,5 juta wirausaha. Dan di sini pula isu social entrepreneurship menjadi signifikan: melihat gap itu sebagai problem sosial dan berupaya menyelesaikannya menggunakan prinsip-prinsip entrepreneurial. Akan tetapi, siapa yang harus melihat hal itu sebagai problem sosial dan turut menyelesaikannya?
Individu-individu dapat menjadi social entrepreneur dan mencetak social enterprise dengan menghimpun wirausaha. Mereka akan mengembalikan return atau surplus dari aktivitas kewirausahaannya kepada stakeholders sehingga tercipta apa yang diidealkan dalam sebuah masyarakat: social justice, tiadanya penguasaan kapital di segelintir pihak dengan tanpa empati serta tanpa kesadaran akan hak-hak stakeholders. Bentuk yang mewadahi aktivitas social enterprise itu sendiri dapat beragam. Bisa yayasan, LSM atau, yang paling ideal, koperasi yang menghimpun banyak orang, menampung wirausaha, dan memutar banyak kapital. Yang jelas, ”Social enterprise punya dua atau tiga ukuran bottom line: finansial, sosial dan environmental,” kata Hugh Moffat, Direktur Program British Council Indonesia. Artinya, tidak mengejar keuntungan buat segelintir pihak, apalagi untuk dirinya.
Individu yang menjadi inisiator dalam urusan mencipta social enterprise yang kemudian melahirkan barisan entrepreneur baru merupakan salah satu pola ketika bicara tentang bagaimana melahirkan entrepreneur lewat social entrepreneurship. Pola yang disebut “from personal to society”.
Namun, karena isu besar di negeri ini adalah mencetak entrepreneur, individu pada konteks ini tak mesti seorang social entrepreneur yang murni. Siapa pun – termasuk pebisnis yang telah mapan pada bisnisnya – bisa mengisi pola ini. Yang penting, mereka bertindak laiknya venture philantrophy: menginjeksi kapital, baik financial capital maupun kapital lain yang dimilikinya (intelektual serta social capital); tidak meminta modal kembali; dan tidak mengejar profit untuk kepentingannya sendiri. “Dia (mereka) hanya dapat gaji atau upah, tidak dapat deviden,” kata Maria R. Nindita Radyati, Koordinator Program MM-CSR Universitas Trisakti. Dalam social enterprise yang mereka dirikan, mereka juga melakukan aspek berikut: mendesain, memperkuat dan mengimplementasikan strategi agar social enterprise tersebut bisa maksimal di tiga titik, yakni economical, social dan environmental impact (benefit). Tiga titik yang juga tiga ukuran bottom line seperti yang dinyatakan Moffat (finansial, sosial dan lingkungan).
Dampak ekonomi bisa terlihat dari hal berikut: besaran kapital finansial yang diputar, peningkatan pendapatan anggota masyarakat yang bergabung atau dilayani, dan pertambahan entrepreneur yang dihasilkan. Dampak sosial bisa berujud pada peningkatan level taraf kehidupan sebagai efek peningkatan kehidupan ekonomi. Sementara dampak lingkungan adalah perbaikan kondisi alam sebagai akibat pola aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Siapa saja, dengan sentuhan sosial di dalam hati dan pikirannya, bisa menggunakan prinsip-prinsip entrepreneurial untuk terlibat dalam pola ini.
Masyarakat (society), atau kumpulan individu – termasuk institusi pendidikan – juga bisa melihat gap kebutuhan entrepreneur sebagai tanggung jawabnya. Mereka dapat menghimpun kapitalnya bersama-sama, dan mengembangkan social enterprise bersama-sama. Inilah pola kedua: society to society. Koperasi adalah contoh perwujudan pola ini.
Dalam perkembangannya, bukan hanya individu serta komunitas yang dapat menjawab persoalan di atas. Korporasi pun bisa mengulurkan perannya untuk mencetak para entrepreneur lewat program tanggung jawab sosialnya.
Mungkin ada pertanyaan: bagaimana bisa korporasi yang bukan social enterprise, yang profit driven, masuk ranah ini?
Inilah yang disebut James Austin sebagai corporate social entrepreneurship (CSE). Guru Besar Business Administration Harvard Business School itu menyatakan bahwa CSE adalah bentuk paling maju dan powerful dari corporate social responsibility (CSR). Dalam CSE, perusahaan memainkan kompetensi miliknya untuk menciptakan economic and social value bagi stakeholders-nya. Caranya: korporasi bekerja sama dengan society, menjalin kemitraan dengan mereka, untuk menciptakan kesejahteraan sosial dari aktivitas entrepreneurship. Bukan semata memburu profit untuk pemegang sahamnya. Korporasi seakan-akan menjadi apa yang disebut sebagai “hybrid company” karena menggabungkan misi sosial dan misi kapitalistis.
Inilah pola ketiga: corporation to society. Korporasi bisa menginjeksi kapital pada social enterprise – baik didirikannya langsung ataupun tidak, seperti yayasan – yang akan memutarnya untuk kebaikan komunitas, terutama melahirkan barisan wirausaha. Korporasi juga bisa langsung bekerja sama dengan masyarakat tertentu, mencetak serta membina para entrepreneur dalam aktivitas ekonomi bersama. Di sini, korporasi bukan hanya menanam uang, tetapi juga investasi kapital lainnya seperti teknologi yang diberikan lewat bimbingan yang kontinyu, maupun jejaring pasar yang dibangun secara konsisten. Tak mengherankan, ini disebut Austin sebagai CSR yang maju karena tak semata mengucurkan uang untuk program ini-itu dan kadang dengan kemasan public relations yang lebih wah daripada esensinya. Korporasi mengintegrasikan komunitas dalam rantai nilai operasi-produksinya. Dengan menciptakan dan mendorong lahirnya entrepreneur, korporasi turut memberdayakan masyarakat lewat aktivitas ekonomi.
SWA mencoba melihat siapa dan bagaimana pola-pola itu berkembang. Di sisi individu, muncul sejumlah nama yang datang dari beragam kalangan. bisa seorang pengusaha seperti Esther Satyono, anak muda bernama Sabanda, bahkan seorang desainer seperti Oscar Lawalatta. Begitu pula dari sisi society maupun korporasi. Dari sisi komunitas, ibu-ibu rumah tangga menunjukkan diri mereka bisa menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mengatasi persoalan di sekitarnya seperti pada koperasi tanggung-renteng. Sementara dari sisi korporasi, penguasaan kapital dan kompetensi mendorong perusahaan turut mengembangkan wirausaha.
Dalam kapasitas masing-masing, mereka telah memberikan minimal salah satu dampak di tiga titik (finansial, sosial dan lingkungan). Lebih lengkap tentang mereka, termasuk kiprahnya, bisa dilihat di tabel dan halaman-halaman berikutnya. Yang pasti, apresiasi layak diberikan buat mereka, khususnya para indvidu yang tentunya memiliki keterbatasan kapital. Yang juga pasti, satu hal menarik dari aktivitas mereka adalah memunculkan apa yang kemudian disebut “long tail of entrepreneur” – istilah long tail meminjam dari tulisan Chris Anderson dalam bukunya yang inspiratif, The Long Tail. Dalam konteks ini maksudnya adalah barisan pengusaha yang panjang, seperti ekor yang tiada putus-putusnya: satu wirausaha melahirkan wirausaha baru, satu perusahaan melahirkan perusahaan baru, demikian seterusnya.
Bahkan, Wisnu Ali Martono dan Fatmah Bahalwan bisa melakukan hal itu. Lewat situsnya, Natural Cooking Club (NCC), pasutri pengusaha katering ini menciptakan sebuah social enterprise di dunia maya. Berbagi intellectual capital, terutama pengetahuan tentang masak-memasak, mereka bertemu lalu menyebar menjadi wirausaha di tempat masing-masing, seperti dengan membuka warung, resto atau toko kue. Setelah lima tahun berdiri, NCC yang kini beranggota 7.000 orang bermetamorfosis dari sarana bertukar resep masakan menjadi kekuatan ekonomi berbasis dapur. Dari satu tempat, long tail of entrepreneur di NCC telah panjang terentang.
Mencetak wirausaha bukan perkara mudah. Buku Boulevard of Broken Dreams: Why Public Efforts to Boost Entrepreneurship and Venture Capital Have Failed—and What to Do About it (2009), karya Josh Lerner, guru besar Harvard Business School, mencatat beberapa common failures dalam mendorong entrepreneurship. Salah satunya, banyak negara dikuasai ambisi tanpa melihat comparative advantages yang ada di negara tersebut. Tak melihat potensi-potensi lokal yang ada. Tak melihat bahwa kolaborasi antara people-community-corporation bisa menghasilkan barisan wirausaha tangguh. Orang sering lupa bahwa Sillicon Valey, tempat spirit entrepreneur berada, tak akan pernah sukses tanpa dua pusat intellectual capital, yakni Universitas Stanford dan Berkeley, serta pusat keuangan kelas dunia, San Francisco. Di sanalah kolaborasi seluruh kapital terjadi.
Bicara kekuatan social entrepreneur, social enterprise dan social entrepreneurship, Indonesia memang masih jauh. Negara yang tergolong maju adalah Inggris. British Council menaksir sedikitnya ada 62.000 social enterprises yang menyumbang £24 miliar bagi ekonomi Inggris. Di negeri itu, bahkan ada Social Enterprise Day yang dirayakan setiap 19 November.
Masyarakat Singapura juga membuktikan kuatnya komunitas ketika mereka bersatu menghimpun modal untuk mendirikan supermarket-supermarket di sekitar wilayahnya. Menurut Rektor Universitas Trisakti Thobby Mutis, dari 6 gerai, Carrefour kini hanya menyisakan satu gerai. Lima gerai tumbang menghadapi kekuatan ekonomi lokal. Jangan bandingkan dengan Indonesia. Di sini, Carrefour merajalela tanpa hambatan.
Lantas, bagaimana agar social entrepreneurship bisa kian berkembang sehingga jutaan entrepreneur dapat dilahirkan?
Sesungguhnya, potensi di Tanah Air untuk urusan mencetak sejuta entrepreneur sangatlah besar, termasuk dengan memanfaatkan social entrepreneurship. Kalangan korporasi, terutama. Kapital (finansial, intelektual) mereka sangat besar bila diarahkan untuk mencetak wirausaha. BUMN, misalnya, punya Program Kemitraan dan Bina Lingkungan yang bila dilakukan serius akan dapat menciptakan social enterprise, juga long tail of entrepreneur. Serius di sini berarti melakukan pendampingan, juga investasi waktu dan keahlian, bukan sekadar menyumbang uang asal terpenuhi kewajiban.
Kuncinya di sisi korporasi adalah laiknya social entrepreneur tatkala melihat problem sosial: proaktif. Bank Mandiri, misalnya, kini aktif menggelar Wirausahawan Muda. Sementara Danamon, seperti diutarakan Manggi Habir, Chairman Board of Supervisors Yayasan Danamon, aktif menggelar Peduli Kompos Sampah Pasar. Lewat program ini, Danamon bersama 31 pemerintah daerah di seluruh Indonesia membuat unit pengolahan kompos di pasar menjadi pupuk organik berkualitas tinggi. Dampaknya bukan hanya lingkungan yang lebih baik, tetapi juga terserapnya tenaga kerja dan adanya pendapatan tambahan.
Bicara potensi, yang bisa menjadi mitra korporasi di negara yang tengah berkembang seperti Indonesia adalah kaum perempuan. Potensi kalangan wanita ini bukan perkara main-main. M. Yunus dengan Grameen Bank-nya berangkat dari pemberdayaan kaum perempuan. Studi mutakhir McKinsey telak-telak menyebut besarnya potensi ini. Kaum wanita bisa memberi perbedaan 1,6% terhadap pertumbuhan produk domestik bruto. Kalangan wanita yang bisa mencetak penghasilan akan menjadi katalis yang powerful untuk pembangunan karena mereka akan menginvestasikan uangnya untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan keluarga ketimbang kaum laki-laki. Karena itulah, sektor swasta dapat berkolaborasi mengembangkan kaum perempuan untuk lebih berdaya, termasuk dalam hal ekonomi (How Helping Women Helps Business, McKinsey Quaterly, Januari 2010). Jangan heran, koperasi tanggung-renteng yang dikembangkan Murzia Zaafril dan Yoos S. Aisyah Lutfi ataupun NCC telah membuktikannya.
Bagaimana dengan peran pemerintah?
“Pemerintah dapat membuat suatu koridor hukum yang bisa memfasilitasi, misalnya lewat peraturan pajak dan akses informasi untuk mengembangkan jaringan,” kata Nicolosi. “Lihat saja, misalnya, di Aceh di mana ada satu komunitas ibu-ibu pembuat quilting (bedcover tambalan dari semacam kain perca). Mereka mengekspor. Sebenarnya itu kan bisa lebih dikembangkan,” lanjutnya.
“Pemerintah bisa menjadi fasilitator, supporter dan organisatornya. Paling tidak informasi untuk bagaimana kami mengembangkan usaha itu mudah didapat sehingga kami bisa juga bergerak lebih cepat. Birokrasinya itu loh…, mana tahan!” ujar Oscar Lawalatta, desainer yang kini membina lima kelompok penenun kain tradisional menjadi wirausaha.
Peran lain yang bisa dimainkan adalah regulator. Pemerintah bisa mengatur social enterprise yang potensinya menciptakan entrepreneur sangatlah besar. Finlandia tergolong maju dalam urusan ini karena telah mengeluarkan undang-undang pada 2004 yang mengatur tentang perusahaan sosial. Kini sedikitnya ada 91 social enterprise di negeri itu yang terdaftar. Adapun Italia mengeluarkan UU sejenis tahun 2005. Indonesia memang masih jauh dari pengaturan semacam itu. UU Perusahaan Terbatas tidak mengaturnya. Di Indonesia, Nindita menuturkan, memang belum ada badan hukum khusus yang mengatur social enterprise. Sementara di Inggris ada badan hukum khusus yang mengatur hal ini, yakni Community Interest Company (CIC) dan mendapat perlakuan khusus dalam hal pajak.
Sekalipun peran pemerintah penting, tentu saja pihak individu, society dan korporasi tak bisa selalu bergantung. Kita mungkin bisa belajar dari Pandji Pragiwaksono, artis yang juga aktivis Indonesia Unite. Untuk mengatasi persoalan sosial, menurutnya, setiap manusia Indonesia harus mulai selalu berpikir tidak egosentris, kepada dirinya sendiri, tetapi berpikir sosial, berpikir apa yang bisa diberikan kepada masyarakat banyak. “Seharusnya setiap orang Indonesia menjadi bagian dari perubahan dengan membuat sebuah layer kegiatan sosial dan gerakan moral dalam hidup mereka,” ujar lelaki yang mengaku mengangkat topi buat pengusaha-pengusaha yang memberdayakan masyarakat karena sejalan dengan semangat menciptakan perubahan menjadi Indonesia yang lebih baik.
Ya, problem hari ini adalah melahirkan entrepreneur untuk mengisi gap yang ada. Dengan sosial entrepreneurship, hal itu bisa ikut dipecahkan. Siapa pun dapat terlibat di sini. Motonya: think social benefit, not just profit!***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar